Rabu, 17 Juni 2015

Pembelajaran Kolaborasi



PERANAN DALAM PEMBELAJARAN KOLABORASI

A.    Peranan dan Pentingnya Tim dalam Pembelajaran Kolaborasi
McCahon & Lavelle, (1998) menyarankan agar dalam collaborative learning, kelas dibagi ke dalam beberapa tim dan tiap tim ditugasi untuk melakukan riset sederhana, kemudian dievaluasi dan didiskusikan kembali di dalam kelas. Tim yang dimaksud adalah: “a group of two to five students who are tied together by a common purpose to complete a task and to include every group member” (Dishon dan O’Leary, 1994). Dalam konteks ini, Benne and Seats (1991) menegaskan bahwa premis mayor dalam suatu tim adalah bahwa setiap orang dalam tim tersebut harus berfungsi sebagai pemain yang kolaboratif dan produktif untuk menuju tercapainya hasil yang diinginkan. Dengan sangat menekankan pentingnya kohesivitas, Duin, Jorn, DeBower, dan Johnson (1994) mendefinisikan “collaboration” sebagai suatu proses di mana dua orang atau lebih merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kegiatan bersama.
Konsep “tim” dengan segala aspeknya ini harus benar-benar dipahami oleh pebelajar. Kurangnya pemahaman tentang konsep ini dapat berakibat kurangnya kesadaran akan pentingnya kerjasama, tidak dapat memprioritaskan tujuan tim daripada tujuan individu, dan pada gilirannya dapat berakibat berbuat kesalahan dalam menyelenggarakan pertemuan, mengabaikan batas waktu penyelesaian pekerjaan tim, kurang penuh dalam bertanggungjawab, serta kurang dapat bekerja secara efisien (Ravenscroft dan Buckless,1995).
Dalam pembentukan tim, jumlah anggota, sifat, dan kompleksitas pekerjaan merupakan faktor kunci. Mengenai berapa orang sebaiknya jumlah anggota dalam ternyata ada berbagai pendapat. Secara umum, para ahli merekomendasikan agar pembentukan tim dalam kelas sebaiknya terdiri dari tiga sampai dengan lima orang (Howard, 1999). Namun, ia menegaskan bahwa untuk permulaan latihan pengembangan keterampilan kolaborasi sebaiknya para pembelajar memperkenalkannya dengan kelompok kecil lebih dulu, sekitar dua sampai tiga orang dalam satu kelompok. Tujuan utamanya agar pebelajar familiar bekerja/belajar secara kolaborasi dengan orang lain. Untuk kegiatan semacam riset/investigasi yang ditindaklanjuti dengan pembuatan laporan dan menyajikannya di kelas, Howard (1999) menyarankan sebaiknya tim terdiri dari tiga sampai dengan lima orang agar dapat bekerja secara efektif. Ia juga menyarankan jumlah anggota sebaiknya gasal, jangan genap agar kalau suatu saat terjadi konflik dapat diatasi dengan voting dalam penyelesaiannya.
Selain jumlah pebelajar yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan suatu tim, Bowen (1998) mengingatkan bahwa keragaman latar belakang pebelajar juga perlu diperhatikan dan latar belakang mana yang akan lebih diberikan tekanan. Misalnya, kualitas perspektif pebelajar dalam memandang berbagai persoalan, jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Namun, Bowen (1998) menekankan bahwa tujuan kegiatan merupakan faktor utama untuk mempertimbangkan pembentukan tim. Untuk kegiatan jangka pendek, seperti kegiatan di kelas bagi pebelajar yang tujuan utamanya adalah latihan bekerja secara kolaboratif dalam tim, pemilihan anggota tim cukup dilakukan secara acak. Sebaliknya, jika tujuan tim dimaksudkan untuk menelusuri kesempatan karir di berbagai instansi atau perusahaan, maka pemilihan anggota tim akan lebih tepat didasarkan atas minat karir yang sejenis.
Setiap tim harus memiliki seorang ketua untuk memimpin pertemuan atau rapat, menjadi penghubung antara tim dengan pembelajar, dan melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan lainnya. Ketua tim juga harus bekerjasama dengan pembelajar untuk menangani setiap masalah yang muncul dan memerlukan bantuan pembelajar. Sangat boleh jadi suatu tim menghadapi suatu konflik atau masalah yang tidak dapat diatasi sendiri oleh anggota timnya sehingga terpaksa harus melibatkan pembelajar dalam memecahkannya. Namun demikian, menurut Bowen (1998) penting untuk ditekankan bahwa apa sebenarnya inti konflik atau masalah yang dihadapi, mengapa hal itu bisa terjadi, dan bagaimana mengatasinya, sebaiknya didiskusikan oleh anggota tim lebih dahulu tanpa buru-buru mengundang campur tangan pembelajar agar pebelajar terbiasa mengenali dengan cermat dan mampu mengatasi secara efektif setiap masalah atau konflik yang dihadapi oleh timnya.
Bisa jadi anggota tim lupa terhadap detail pekerjaan penting yang harus ditanganinya. Oleh sebab itu, akan sangat berguna jika pembelajar memberikannya dalam bentuk tulisan semacam handout dalam membimbing pebelajar melakukan kegiatan-kegiatan tim secara kolaboratif. Berikut sejumlah strategi yang diajukan oleh Howard (1999) untuk membantu tim memfokuskan pada tugas pokok yang harus dikerjakannya:
1.      Membagikan secara tertulis petunjuk pelaksanaan kegiatan yang dikerjakan oleh tim. Petunjuk itu dibuat detail agar pebelajar tidak mengalami kebingungan dalam melaksanakannya. Dengan cara demikian, pebelajar tidak hanya menyandarkan pada ingatan semata atau catatan-catatan yang dibuat tiap anggota tim.
2.      Membuat schedule untuk penyelesaian tugas sementara yang di dalamnya meliputi: tanggal penyelesaian kegiatan, kartu catatan, dan garis besar penyusunan laporan. Jika schedule telah disusun, misalnya untuk melaksanakan riset perpustakaan, melakukan berbagai keterampilan di kelas yang berbeda bersama pembelajar dari disiplin ilmu yang berbeda, atau melakukan pertemuan di tempat lain di luar kelas, semua itu harus dicantumkan di dalam schedule.
3.      Mendiskusikan dengan pebelajar dan memberikan fotokopi lembaran evaluasi yang dapat digunakan untuk menilai aspek-aspek kegiatan tim. Ini berguna untuk membantu pebelajar memahami bagaimana menyelesaikan kegiatannya dengan baik dan benar.
4.      Mengusahakan setiap anggota tim memiliki buku catatan kegiatan yang dibagi ke dalam bagian-bagian guna mengorganisasikan kegiatan yang harus diselesaikan. Lembaran tugas, petunjuk pelaksanaan kegiatan, dan schedule kegiatan harus dilekatkan di bagian depan buku catatan pebelajar
Pembagian tanggungjawab yang dilakukan oleh pembelajar secara kurang bijaksana dapat mengurangi keberhasilan pola kerja kolaborasi. Seringkali orang berpendapat bahwa pembagian kerja anggota tim sebaiknya didasarkan pada penguasaan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Misalnya, suatu tim yang beranggotakan tiga orang, di mana satu orang mahir dalam mengoperasikan komputer, satu orang lagi memiliki kelebihan dalam melakukan riset, dan seorang lagi memiliki kelebihan dalam menyusun laporan kegiatan. Kedengarannya memang ideal jika pembagian tugas disesuaikan dengan penguasaan yang telah dimiliki tiap anggota tim tersebut.
Menurut Davis dan Miller (1996), pembagian tugas semacam itu sesungguhnya mengandung kelemahan serius karena pebelajar tidak terlatih menguasai dan menyelesaikan pekerjaan dalam lingkup yang lebih luas yang sebenarnya dituntut secara kompetitif manakala nanti sudah memasuki dunia kerja. Akibatnya, pebelajar menyimpan kelemahan dan keterbatasan kesempatan untuk memperoleh atau meningkatkan kompetensi lainnya yang juga penting. Atas dasar itu, Davis dan Miller (1996) menyarankan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dalam bekerja secara kolaboratif seharusnya setiap anggota tim menerima tanggungjawab tidak hanya pada tugas-tugas yang mereka sudah memiliki keterampilan atau penguasaan, melainkan juga pada tugas-tugas yang belum mereka kuasai sambil belajar dan meningkatkan keterampilannya selama menyelesaikan kegiatan dengan anggota timnya.
Lingkungan dunia kerja modern memerlukan orang-orang yang mampu menghargai pentingnya tanggungjawab, bukan saja dari tim secara keseluruhan melainkan juga dari tiap-tiap personel dalam tim tersebut. Oleh sebab itu, menjadi sangat penting penghargaan terhadap tanggungjawab tersebut untuk dikembangkan secara maksimal kepada pebelajar sebagai persiapan sebelum memasuki dunia kerja. Pengembangan tanggungjawab ini, menurut Bowen (1998), dapat dirancang dan dikembangkan secara langsung oleh pembelajar atau melalui kesepakatan tim atau bisa juga melalui konsensus antara pembelajar dengan pebelajar. Hal terpenting adalah apapun bentuk proses yang ditempuh dalam membangun tanggung jawab itu, para anggota tim harus memahami betul bahwa mereka bertanggungjawab terhadap semua pertemuan yang diselenggarakan oleh tim, memberikan sumbangan terhadap kegiatan diskusi dalam tim, dan menyelesaikan tugas-tugas tim secara baik dan tepat waktu.
Jika seorang pebelajar terpaksa tidak dapat hadir dalam suatu pertemuan tim, maka dia berkewajiban memberitahu ketua tim atau anggota tim lainnya tentang penyebab ketidakhadirannya itu. Cara ini harus dibiasakan agar tetap terjaga rasa tanggungjawab terhadap tim (Alexander & Stone,1997). Bahkan, jika memungkinkan, meskipun seorang pebelajar tidak dapat hadir dalam pertemuan tim, tetapi harus mengirimkan gagasan-gagasannya secara tertulis, laporan tertulis, dan/atau tugas-tugas yang telah diselesaikannya sehingga dapat dibahas dalam pertemuan tim. Setelah pertemuan tim selesai, pebelajar yang tidak hadir tersebut juga harus mengontak lagi ketua tim atau anggota tim lainnya untuk mendapatkan informasi tentang hasil diskusi selama pertemuan tim atau barangkali ada kertas kerja atau tulisan yang dapat di (McCahon & Lavelle, 1998).
B.     Peranan dan Pentingnya Pencatatan Pembelajaran Kolaborasi
CBL sangat memberikan perhatian atas pentingnya pencatatan tugas-tugas belajar dalam tim—umumnya dalam bentuk lembar tugas—dalam suatu format yang disepakati. Dengan lembar tugas itu dapat membantu tim untuk tetap memfokuskan pada upaya penyelesaian kegiatan-kegiatan secara benar, efisien, dan tepat waktu. Lebih dari itu, kata Bowen (1998), proses pengisian format pencatatan dapat mendorong pebelajar untuk mengembangkan dan meningkatkan keterampilan organisasional mereka yang nantinya akan sangat berguna tidak hanya selama menempuh studi melainkan juga setelah mereka memasuki dunia kerja, kegiatan-kegiatan sosial, dan berbagai situasi lainnya.
Dalam konteks ini, Davis & Miller (1996) menyatakan bahwa pembelajar menekankan pada tim untuk tetap bekerjasama dalam mengisi format pencatatan itu, dan setiap anggota tim harus memegang satu fotokopi dari format pencatatan yang telah selesai dikerjakan. Ketua tim secara cepat dan tepat menyampaikan fotokopi dari format pencatatan yang telah dikerjakan itu kepada pembelajar agar dapat digunakan untuk melakukan monitoring secara kontinyu kegiatan-kegiatan tim dan sesegera mungkin memberikan umpan balik kepada tim Berikut ini diuraiakn ebeberapa format pencatatan lembar tugas yang bisa dipakai oleh tim CBL.
1.      Roster Komunikasi. Jika suatu tim sudah terbentuk, maka anggota tim itu harus senantiasa saling bertukar informasi sehingga memungkinkan mereka tetap saling berkomunikasi. Bagi anggota tim yang memiliki “e-mail” akan memudahkan untuk saling berkomunikasi secara cepat dan sekaligus hasil komunikasi tersebut terekam serta dapat dicetak. anggota tim menemukan sesuatu yang penting, tetapi tidak memungkinkan untuk segera melakukan pertemuan atau anggota tim tersebut tidak dapat hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh tim. Dengan alat ini anggota tim tetap akan dapat melakukan komunikasi dengan anggota tim lainnya. Dengan cara demikian, setiap anggota tim tetap akan memelihara tanggungjawab terhadap kekohesifan timnya.
2.      Lembar Tugas. Setelah tim mendiskusikan kegiatan yang akan dilakukan dan tugas yang akan menjadi tanggungjawab tiap anggota telah ditentukan, maka pebelajar sebagai anggota tim membuat catatan-catatan tertulis mengenai berbagai informasi bekenaan dengan tugas dan tanggungjawabnya, termasuk di dalamnya batas waktu penyelesaian tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Lembar tugas, menurut Hart (1997), dapat membantu pebelajar untuk (1) menghindarkan diri dari terjadinya duplikasi yang tidak diinginkan (2) terjadinya pemborosan waktu yang dapat disebabkan oleh adanya dua orang atau lebih anggota tim mengerjakan pekerjaan yang sama karena adanya kebingungan tanggungjawab dan (3) menghindarkan diri dari pengabaian tugas dan tanggungjawabnya.
Untuk mengoptimalkan penggunaan lembar tugas ini, umpan balik dari pembelajar sangat diperlukan. Jika pembelajar memberikan umpan balik yang tepat terhadap isi lembaran tugas ini dengan cara memeriksa kelengkapan dan kualitasnya yang kemudian dikomunikasikan kepada pebelajar, maka pembelajar akan dapat: (1) menentukan apakah tugas-tugas penting yang harus dikerjakan pebelajar sudah tercakup di dalamnya, (2) apakah tanggungjawab anggota tim telah didistribusikan secara adil, dan (3) apakah batas waktu yang ditentukan itu fisibel. Apabila ternyata perlu perubahan batas waktu dapat segera dilakukan dan diinformasikan kepada anggota tim.
3.      Jadwal Pertemuan. Tugas penting yang juga harus dipersiapkan oleh anggota tim pada awal pelaksanaan kegiatan adalah menyusun jadwal pertemuan yang akan diselenggarakan di luar jam pembelajaran tatap muka guna mendiskusikan gagasan-gagasan anggota, bertukar informasi, penyesuaian rencana kerja, dan tugas-tugas penting lainnya dalam rangka penyelesaian kegiatan tim. Ada kemungkinan suatu tim menyusun schedul pertemuannya bersama-sama pembelajar di kelas ketika tidak ada pembelajaran, sedangkan tim lain mungkin lebih senang memilih menyusunnya di perpustakaan, di rumah salah seorang anggota tim, di asrama, atau di tempat lain yang lebih cocok. Dengan adanya format jadwal pertemuan ini akan sangat memudahkan tim untuk mencatat informasi penting serta penggunaannya.
4.      Agenda Pertemuan. Agar pertemuan tim dapat berjalan lancar dan jelas topik yang akan dibahas, maka setiap anggota tim harus memiliki agenda pertemuan yang akan didiskusikan bersama pada setiap pertemuan. Jika tidak, maka pertemuan tim akan menjadi tak tentu arah atau bahkan tidak ada bahan yang akan didiskusikan. Pada akhir pertemuan, anggota tim merumuskan agenda pertemuan yang akan datang dan bila rencana kegiatan yang akan datang itu telah disepakati, hal itu dituangkan ke dalam lembar agenda pertemuan yang bersangkutan. Dengan demikian, setiap anggota dapat selalu mengecek rencana agenda pertemuan berikutnya sehingga tiap dapat menyiapkan diri untuk menentukan apa agenda yang akan dibawa ke dalam pertemuan tim berikutnya. Dengan cara demikian, dapat dihindarkan kemungkinan ketiadaan bahan untuk didiskusikan pada pertemuan berikutnya.
5.      Evaluasi Pertemuan. Davis dan Miller (1996) menegaskan bahwa untuk memaksimalkan kesempatan belajar dari keterlibatan dalam kegiatan tim, pebelajar mendiskusikan dan mengevaluasi pengalaman-pengalaman kegiatan dalam timnya. Lembar evaluasi pertemuan ini diisi oleh setiap anggota tim pada akhir dari setiap pertemuan. Cara demikian akan dapat membantu memfasilitasi proses maksimalisasi kesempatan belajar bagi setiap anggota tim sekaligus mengevaluasi kinerja tim. Kehadiran anggota tim, penyelesaian tugas setiap anggota, kontribusi setiap anggota dalam diskusi, keterampilan interpersonal, dan faktor-faktor lain yang akan dievaluasi harus dicatat di dalam lembaran evaluasi pertemuan tersebut. Cara demikian dapat juga digunakan sebagai evaluasi sejawat dan sekaligus evaluasi-diri para anggota tim. Dalam pada itu, tim juga dapat menggunakan lembaran evaluasi pertemuan ini untuk menilai kemajuan mereka dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tim.
6.      Evaluasi akhir keseluruhan kegiatan. Sebagaimana penilaian yang dilakukan pada setiap pertemuan, evaluasi pada akhir keseluruhan kegiatan juga merupakan cara yang sangat efektif bagi pebelajar untuk belajar dari pengalaman-pengalaman kegiatan tim secara keseluruhan. Catatan-catatan secara rinci yang telah dibuat pada lembaran evaluasi setiap pertemuan yang telah lalu akan sangat penting bagi pebelajar untuk dapat melakukan evaluasi sejawat dan evaluasi diri pada akhir keseluruhan kegiatan secara akurat dan teruji berdasarkan bukti-bukti yang kuat
Peranan evaluasi sejawat dan evaluasi diri untuk menilai kegiatan tim masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Beberapa peneliti dan ahli pendidikan berkeyakinan bahwa konsep bekerja secara tim mengandung makna bahwa keseluruhan tim harus berbagi nilai secara sama. Namun, sebagian yang lain berpendapat bahwa pendekatan seperti itu dapat menyebabkan sebagian anggota tim kurang dapat bertanggungjawab terhadap keseluruhan kegiatan timnya karena merasa akhirnya akan mendapatkan nilai yang sama dengan anggota lain yang aktif dan penuh tanggungjawab (Kagan, 1995; Holt, 1997). Untuk mengatasi isu ini, diperlukan kearifan pembelajar; bahkan banyak ahli pendidikan yang bersikeras agar masukan-masukan dari pebelajar tetap harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

Mata Kuliah    : Pembelajaran PKN di SD
Dosen              : Dirgantara Wicaksono, M. Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar