PERANAN
DALAM PEMBELAJARAN KOLABORASI
A.
Peranan dan Pentingnya Tim dalam
Pembelajaran Kolaborasi
McCahon
& Lavelle, (1998) menyarankan agar dalam collaborative learning, kelas
dibagi ke dalam beberapa tim dan tiap tim ditugasi untuk melakukan riset
sederhana, kemudian dievaluasi dan didiskusikan kembali di dalam kelas. Tim
yang dimaksud adalah: “a group of two to five students who are tied
together by a common purpose to complete a task and to include every group
member” (Dishon dan O’Leary, 1994). Dalam konteks ini, Benne and Seats
(1991) menegaskan bahwa premis mayor dalam suatu tim adalah bahwa setiap orang
dalam tim tersebut harus berfungsi sebagai pemain yang kolaboratif dan
produktif untuk menuju tercapainya hasil yang diinginkan. Dengan sangat
menekankan pentingnya kohesivitas, Duin, Jorn, DeBower, dan Johnson (1994)
mendefinisikan “collaboration” sebagai suatu proses di mana dua orang
atau lebih merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kegiatan
bersama.
Konsep
“tim” dengan segala aspeknya ini harus benar-benar dipahami oleh
pebelajar. Kurangnya pemahaman tentang konsep ini dapat berakibat kurangnya
kesadaran akan pentingnya kerjasama, tidak dapat memprioritaskan tujuan tim
daripada tujuan individu, dan pada gilirannya dapat berakibat berbuat kesalahan
dalam menyelenggarakan pertemuan, mengabaikan batas waktu penyelesaian
pekerjaan tim, kurang penuh dalam bertanggungjawab, serta kurang dapat bekerja
secara efisien (Ravenscroft dan Buckless,1995).
Dalam
pembentukan tim, jumlah anggota, sifat, dan kompleksitas pekerjaan merupakan
faktor kunci. Mengenai berapa orang sebaiknya jumlah anggota dalam ternyata ada
berbagai pendapat. Secara umum, para ahli merekomendasikan agar pembentukan tim
dalam kelas sebaiknya terdiri dari tiga sampai dengan lima orang (Howard, 1999).
Namun, ia menegaskan bahwa untuk permulaan latihan pengembangan keterampilan
kolaborasi sebaiknya para pembelajar memperkenalkannya dengan kelompok kecil
lebih dulu, sekitar dua sampai tiga orang dalam satu kelompok. Tujuan utamanya
agar pebelajar familiar bekerja/belajar secara kolaborasi dengan orang lain.
Untuk kegiatan semacam riset/investigasi yang ditindaklanjuti dengan pembuatan
laporan dan menyajikannya di kelas, Howard (1999) menyarankan sebaiknya tim
terdiri dari tiga sampai dengan lima orang agar dapat bekerja secara efektif.
Ia juga menyarankan jumlah anggota sebaiknya gasal, jangan genap agar kalau
suatu saat terjadi konflik dapat diatasi dengan voting dalam penyelesaiannya.
Selain
jumlah pebelajar yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan suatu tim, Bowen
(1998) mengingatkan bahwa keragaman latar belakang pebelajar juga perlu
diperhatikan dan latar belakang mana yang akan lebih diberikan tekanan.
Misalnya, kualitas perspektif pebelajar dalam memandang berbagai persoalan,
jenis kelamin, dan latar belakang etnik. Namun, Bowen (1998) menekankan bahwa
tujuan kegiatan merupakan faktor utama untuk mempertimbangkan pembentukan tim.
Untuk kegiatan jangka pendek, seperti kegiatan di kelas bagi pebelajar yang
tujuan utamanya adalah latihan bekerja secara kolaboratif dalam tim, pemilihan
anggota tim cukup dilakukan secara acak. Sebaliknya, jika tujuan tim
dimaksudkan untuk menelusuri kesempatan karir di berbagai instansi atau
perusahaan, maka pemilihan anggota tim akan lebih tepat didasarkan atas minat
karir yang sejenis.
Setiap
tim harus memiliki seorang ketua untuk memimpin pertemuan atau rapat, menjadi
penghubung antara tim dengan pembelajar, dan melaksanakan fungsi-fungsi
kepemimpinan lainnya. Ketua tim juga harus bekerjasama dengan pembelajar untuk
menangani setiap masalah yang muncul dan memerlukan bantuan pembelajar. Sangat
boleh jadi suatu tim menghadapi suatu konflik atau masalah yang tidak dapat
diatasi sendiri oleh anggota timnya sehingga terpaksa harus melibatkan
pembelajar dalam memecahkannya. Namun demikian, menurut Bowen (1998) penting
untuk ditekankan bahwa apa sebenarnya inti konflik atau masalah yang dihadapi,
mengapa hal itu bisa terjadi, dan bagaimana mengatasinya, sebaiknya
didiskusikan oleh anggota tim lebih dahulu tanpa buru-buru mengundang campur
tangan pembelajar agar pebelajar terbiasa mengenali dengan cermat dan mampu
mengatasi secara efektif setiap masalah atau konflik yang dihadapi oleh timnya.
Bisa
jadi anggota tim lupa terhadap detail pekerjaan penting yang harus ditanganinya.
Oleh sebab itu, akan sangat berguna jika pembelajar memberikannya dalam bentuk
tulisan semacam handout dalam membimbing pebelajar melakukan
kegiatan-kegiatan tim secara kolaboratif. Berikut sejumlah strategi
yang diajukan oleh Howard (1999) untuk membantu tim memfokuskan pada tugas
pokok yang harus dikerjakannya:
1. Membagikan
secara tertulis petunjuk pelaksanaan kegiatan yang dikerjakan oleh tim.
Petunjuk itu dibuat detail agar pebelajar tidak mengalami kebingungan dalam
melaksanakannya. Dengan cara demikian, pebelajar tidak hanya menyandarkan pada
ingatan semata atau catatan-catatan yang dibuat tiap anggota tim.
2. Membuat
schedule untuk penyelesaian tugas sementara yang di dalamnya meliputi:
tanggal penyelesaian kegiatan, kartu catatan, dan garis besar penyusunan
laporan. Jika schedule telah disusun, misalnya untuk melaksanakan
riset perpustakaan, melakukan berbagai keterampilan di kelas yang berbeda
bersama pembelajar dari disiplin ilmu yang berbeda, atau melakukan pertemuan di
tempat lain di luar kelas, semua itu harus dicantumkan di dalam schedule.
3. Mendiskusikan
dengan pebelajar dan memberikan fotokopi lembaran evaluasi yang dapat digunakan
untuk menilai aspek-aspek kegiatan tim. Ini berguna untuk membantu pebelajar
memahami bagaimana menyelesaikan kegiatannya dengan baik dan benar.
4. Mengusahakan
setiap anggota tim memiliki buku catatan kegiatan yang dibagi ke dalam
bagian-bagian guna mengorganisasikan kegiatan yang harus diselesaikan. Lembaran
tugas, petunjuk pelaksanaan kegiatan, dan schedule kegiatan harus
dilekatkan di bagian depan buku catatan pebelajar
Pembagian
tanggungjawab yang dilakukan oleh pembelajar secara kurang bijaksana dapat
mengurangi keberhasilan pola kerja kolaborasi. Seringkali orang berpendapat
bahwa pembagian kerja anggota tim sebaiknya didasarkan pada penguasaan
keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Misalnya, suatu tim yang
beranggotakan tiga orang, di mana satu orang mahir dalam mengoperasikan
komputer, satu orang lagi memiliki kelebihan dalam melakukan riset, dan seorang
lagi memiliki kelebihan dalam menyusun laporan kegiatan. Kedengarannya memang
ideal jika pembagian tugas disesuaikan dengan penguasaan yang telah dimiliki
tiap anggota tim tersebut.
Menurut
Davis dan Miller (1996), pembagian tugas semacam itu sesungguhnya mengandung
kelemahan serius karena pebelajar tidak terlatih menguasai dan menyelesaikan
pekerjaan dalam lingkup yang lebih luas yang sebenarnya dituntut secara
kompetitif manakala nanti sudah memasuki dunia kerja. Akibatnya, pebelajar
menyimpan kelemahan dan keterbatasan kesempatan untuk memperoleh atau
meningkatkan kompetensi lainnya yang juga penting. Atas dasar itu, Davis dan
Miller (1996) menyarankan bahwa untuk mencapai hasil maksimal dalam bekerja
secara kolaboratif seharusnya setiap anggota tim menerima tanggungjawab tidak
hanya pada tugas-tugas yang mereka sudah memiliki keterampilan atau penguasaan,
melainkan juga pada tugas-tugas yang belum mereka kuasai sambil belajar dan
meningkatkan keterampilannya selama menyelesaikan kegiatan dengan anggota timnya.
Lingkungan
dunia kerja modern memerlukan orang-orang yang mampu menghargai pentingnya
tanggungjawab, bukan saja dari tim secara keseluruhan melainkan juga dari
tiap-tiap personel dalam tim tersebut. Oleh sebab itu, menjadi sangat penting
penghargaan terhadap tanggungjawab tersebut untuk dikembangkan secara maksimal
kepada pebelajar sebagai persiapan sebelum memasuki dunia kerja. Pengembangan
tanggungjawab ini, menurut Bowen (1998), dapat dirancang dan dikembangkan
secara langsung oleh pembelajar atau melalui kesepakatan tim atau bisa juga
melalui konsensus antara pembelajar dengan pebelajar. Hal terpenting adalah
apapun bentuk proses yang ditempuh dalam membangun tanggung jawab itu, para
anggota tim harus memahami betul bahwa mereka bertanggungjawab terhadap semua
pertemuan yang diselenggarakan oleh tim, memberikan sumbangan terhadap kegiatan
diskusi dalam tim, dan menyelesaikan tugas-tugas tim secara baik dan tepat
waktu.
Jika
seorang pebelajar terpaksa tidak dapat hadir dalam suatu pertemuan tim, maka
dia berkewajiban memberitahu ketua tim atau anggota tim lainnya tentang
penyebab ketidakhadirannya itu. Cara ini harus dibiasakan agar tetap terjaga
rasa tanggungjawab terhadap tim (Alexander & Stone,1997). Bahkan, jika
memungkinkan, meskipun seorang pebelajar tidak dapat hadir dalam pertemuan tim,
tetapi harus mengirimkan gagasan-gagasannya secara tertulis, laporan tertulis,
dan/atau tugas-tugas yang telah diselesaikannya sehingga dapat dibahas dalam
pertemuan tim. Setelah pertemuan tim selesai, pebelajar yang tidak hadir
tersebut juga harus mengontak lagi ketua tim atau anggota tim lainnya untuk
mendapatkan informasi tentang hasil diskusi selama pertemuan tim atau
barangkali ada kertas kerja atau tulisan yang dapat di (McCahon & Lavelle,
1998).
B.
Peranan dan Pentingnya Pencatatan
Pembelajaran Kolaborasi
CBL
sangat memberikan perhatian atas pentingnya pencatatan tugas-tugas belajar
dalam tim—umumnya dalam bentuk lembar tugas—dalam suatu format yang disepakati.
Dengan lembar tugas itu dapat membantu tim untuk tetap memfokuskan pada upaya
penyelesaian kegiatan-kegiatan secara benar, efisien, dan tepat waktu. Lebih
dari itu, kata Bowen (1998), proses pengisian format pencatatan dapat mendorong
pebelajar untuk mengembangkan dan meningkatkan keterampilan organisasional
mereka yang nantinya akan sangat berguna tidak hanya selama menempuh studi
melainkan juga setelah mereka memasuki dunia kerja, kegiatan-kegiatan sosial,
dan berbagai situasi lainnya.
Dalam
konteks ini, Davis & Miller (1996) menyatakan bahwa pembelajar menekankan
pada tim untuk tetap bekerjasama dalam mengisi format pencatatan itu, dan
setiap anggota tim harus memegang satu fotokopi dari format pencatatan yang
telah selesai dikerjakan. Ketua tim secara cepat dan tepat menyampaikan
fotokopi dari format pencatatan yang telah dikerjakan itu kepada pembelajar
agar dapat digunakan untuk melakukan monitoring secara kontinyu
kegiatan-kegiatan tim dan sesegera mungkin memberikan umpan balik kepada tim
Berikut ini diuraiakn ebeberapa format pencatatan lembar tugas yang bisa
dipakai oleh tim CBL.
1. Roster Komunikasi. Jika
suatu tim sudah terbentuk, maka anggota tim itu harus senantiasa saling
bertukar informasi sehingga memungkinkan mereka tetap saling berkomunikasi.
Bagi anggota tim yang memiliki “e-mail” akan memudahkan untuk saling
berkomunikasi secara cepat dan sekaligus hasil komunikasi tersebut terekam
serta dapat dicetak. anggota tim menemukan sesuatu yang penting, tetapi tidak
memungkinkan untuk segera melakukan pertemuan atau anggota tim tersebut tidak
dapat hadir dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh tim. Dengan alat ini
anggota tim tetap akan dapat melakukan komunikasi dengan anggota tim lainnya.
Dengan cara demikian, setiap anggota tim tetap akan memelihara tanggungjawab
terhadap kekohesifan timnya.
2. Lembar Tugas. Setelah
tim mendiskusikan kegiatan yang akan dilakukan dan tugas yang akan menjadi
tanggungjawab tiap anggota telah ditentukan, maka pebelajar sebagai anggota tim
membuat catatan-catatan tertulis mengenai berbagai informasi bekenaan dengan
tugas dan tanggungjawabnya, termasuk di dalamnya batas waktu penyelesaian tugas
yang menjadi tanggungjawabnya. Lembar tugas, menurut Hart (1997), dapat
membantu pebelajar untuk (1) menghindarkan diri dari terjadinya duplikasi yang
tidak diinginkan (2) terjadinya pemborosan waktu yang dapat disebabkan oleh
adanya dua orang atau lebih anggota tim mengerjakan pekerjaan yang sama karena
adanya kebingungan tanggungjawab dan (3) menghindarkan diri dari pengabaian tugas
dan tanggungjawabnya.
Untuk mengoptimalkan penggunaan lembar tugas ini, umpan balik dari pembelajar sangat diperlukan. Jika pembelajar memberikan umpan balik yang tepat terhadap isi lembaran tugas ini dengan cara memeriksa kelengkapan dan kualitasnya yang kemudian dikomunikasikan kepada pebelajar, maka pembelajar akan dapat: (1) menentukan apakah tugas-tugas penting yang harus dikerjakan pebelajar sudah tercakup di dalamnya, (2) apakah tanggungjawab anggota tim telah didistribusikan secara adil, dan (3) apakah batas waktu yang ditentukan itu fisibel. Apabila ternyata perlu perubahan batas waktu dapat segera dilakukan dan diinformasikan kepada anggota tim.
Untuk mengoptimalkan penggunaan lembar tugas ini, umpan balik dari pembelajar sangat diperlukan. Jika pembelajar memberikan umpan balik yang tepat terhadap isi lembaran tugas ini dengan cara memeriksa kelengkapan dan kualitasnya yang kemudian dikomunikasikan kepada pebelajar, maka pembelajar akan dapat: (1) menentukan apakah tugas-tugas penting yang harus dikerjakan pebelajar sudah tercakup di dalamnya, (2) apakah tanggungjawab anggota tim telah didistribusikan secara adil, dan (3) apakah batas waktu yang ditentukan itu fisibel. Apabila ternyata perlu perubahan batas waktu dapat segera dilakukan dan diinformasikan kepada anggota tim.
3. Jadwal Pertemuan. Tugas
penting yang juga harus dipersiapkan oleh anggota tim pada awal pelaksanaan kegiatan
adalah menyusun jadwal pertemuan yang akan diselenggarakan di luar jam
pembelajaran tatap muka guna mendiskusikan gagasan-gagasan anggota, bertukar
informasi, penyesuaian rencana kerja, dan tugas-tugas penting lainnya dalam
rangka penyelesaian kegiatan tim. Ada kemungkinan suatu tim menyusun schedul
pertemuannya bersama-sama pembelajar di kelas ketika tidak ada pembelajaran,
sedangkan tim lain mungkin lebih senang memilih menyusunnya di perpustakaan, di
rumah salah seorang anggota tim, di asrama, atau di tempat lain yang lebih
cocok. Dengan adanya format jadwal pertemuan ini akan sangat memudahkan tim
untuk mencatat informasi penting serta penggunaannya.
4. Agenda Pertemuan. Agar
pertemuan tim dapat berjalan lancar dan jelas topik yang akan dibahas, maka
setiap anggota tim harus memiliki agenda pertemuan yang akan didiskusikan
bersama pada setiap pertemuan. Jika tidak, maka pertemuan tim akan menjadi tak
tentu arah atau bahkan tidak ada bahan yang akan didiskusikan. Pada akhir
pertemuan, anggota tim merumuskan agenda pertemuan yang akan datang dan bila
rencana kegiatan yang akan datang itu telah disepakati, hal itu dituangkan ke
dalam lembar agenda pertemuan yang bersangkutan. Dengan demikian, setiap
anggota dapat selalu mengecek rencana agenda pertemuan berikutnya sehingga tiap
dapat menyiapkan diri untuk menentukan apa agenda yang akan dibawa ke dalam
pertemuan tim berikutnya. Dengan cara demikian, dapat dihindarkan kemungkinan
ketiadaan bahan untuk didiskusikan pada pertemuan berikutnya.
5. Evaluasi Pertemuan. Davis
dan Miller (1996) menegaskan bahwa untuk memaksimalkan kesempatan belajar dari
keterlibatan dalam kegiatan tim, pebelajar mendiskusikan dan mengevaluasi
pengalaman-pengalaman kegiatan dalam timnya. Lembar evaluasi pertemuan ini
diisi oleh setiap anggota tim pada akhir dari setiap pertemuan. Cara demikian
akan dapat membantu memfasilitasi proses maksimalisasi kesempatan belajar bagi
setiap anggota tim sekaligus mengevaluasi kinerja tim. Kehadiran anggota tim,
penyelesaian tugas setiap anggota, kontribusi setiap anggota dalam diskusi,
keterampilan interpersonal, dan faktor-faktor lain yang akan dievaluasi harus
dicatat di dalam lembaran evaluasi pertemuan tersebut. Cara demikian dapat juga
digunakan sebagai evaluasi sejawat dan sekaligus evaluasi-diri para anggota
tim. Dalam pada itu, tim juga dapat menggunakan lembaran evaluasi pertemuan ini
untuk menilai kemajuan mereka dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tim.
6. Evaluasi akhir keseluruhan kegiatan. Sebagaimana
penilaian yang dilakukan pada setiap pertemuan, evaluasi pada akhir keseluruhan
kegiatan juga merupakan cara yang sangat efektif bagi pebelajar untuk belajar
dari pengalaman-pengalaman kegiatan tim secara keseluruhan. Catatan-catatan
secara rinci yang telah dibuat pada lembaran evaluasi setiap pertemuan yang
telah lalu akan sangat penting bagi pebelajar untuk dapat melakukan evaluasi
sejawat dan evaluasi diri pada akhir keseluruhan kegiatan secara akurat dan
teruji berdasarkan bukti-bukti yang kuat
Peranan
evaluasi sejawat dan evaluasi diri untuk menilai kegiatan tim masih merupakan
sesuatu yang kontroversial. Beberapa peneliti dan ahli pendidikan berkeyakinan
bahwa konsep bekerja secara tim mengandung makna bahwa keseluruhan tim harus
berbagi nilai secara sama. Namun, sebagian yang lain berpendapat bahwa
pendekatan seperti itu dapat menyebabkan sebagian anggota tim kurang dapat
bertanggungjawab terhadap keseluruhan kegiatan timnya karena merasa akhirnya
akan mendapatkan nilai yang sama dengan anggota lain yang aktif dan penuh
tanggungjawab (Kagan, 1995; Holt, 1997). Untuk mengatasi isu ini, diperlukan
kearifan pembelajar; bahkan banyak ahli pendidikan yang bersikeras agar
masukan-masukan dari pebelajar tetap harus dipertimbangkan dalam pengambilan
keputusan.
Mata Kuliah : Pembelajaran PKN di SD
Dosen : Dirgantara Wicaksono, M. Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar